IDE - IDE BAGI REFORMASI POLRI : KKLN DI JEPANG OLEH KASESPIM LEMDIKLAT POLRI IRJEN POL PROF. DR. CHRYSHNANDA DWILAKSANA, M.SI.

admin 29 May 2024

banner-image

KKLN (Kuliah Kerja Luar Negeri) bagi Peserta Sespimti di Jepang pada tataran konseptual strategi dan implementasi yang berkaitan dengan :

  1. Sistem kepolisian Jepang dari NPA sampai Koban;
  2. Model Smart city;
  3. Model Emergency dan contigency policing;
  4. Model Social engineering;
  5. Model Pencegahan Kejahatan;
  6. Model Pelayanan Publik;
  7. Model Masyarakat Sadar Seni Budaya dan Pariwisata;
  8. Model Active Transportation (jalan kaki, bersepeda, transportasi angkutan umum).

Dari delapan point di atas benang merah yang dapat ditarik kesimpulannya adalah "Negara Jepang Memiliki Tingkat Literasi yang Tinggi" sehingga keutamaan diimplementasikan dalam budaya organisasi yang "Profesional, Cerdas, Bermoral dan Modern".

Demikian halnya dalam kepolisian Jepang spirit pemolisiannya adalah:" untuk menjadi polisi yang berhati nurani sebagai pejuang kemanusiaan". Disiplin dan bekerja keras, ditunjukan juga melalui kesadaran dan tanggung jawabnya dalam menyelenggarakan tugasnya bagi "meningkatkan kualiitas hidup masyatakat ".

Mereka menunjukan sebagai petugas yang profesional cinta dan bangga akan pekerjaannya, serta setia serta loyal pada institusi kepolisian.

Kepolisian Jepang sebagai pembelajar yang terus berjuang untuk meningkatkan kualitas kinerja sebagai polisi yang profesional, bekerja dengan tulus dan mampu bereaksi dengan cepat dalam menjaga keteraturan sosial yang diwujudkan dalam keamanan dan rasa aman warga masyakat. Dari keutamaan kepolisian Jepang dapat dijadikan inspirasi bagi reformasi birokrasi Polri khususnya secara kultural.

Reformasi birokrasi secara kultural untuk perubahan mind set menuju sesuatu yang lebih baik atau menjadi lebih baik literasi menjadi dasarnya. Membangun literasi dapat dimulai dari :

  1. Penataan lingkungan hidupnya yang asri dan ngangeni;
  2. Adanya referensi yang memadai;
  3. Pemberdayaan manajemen media yang menjadi wadah bagi produk produknya;
  4. Ada guru, pendidik dan mentor yang mencerahkan dan menjadi teladan;
  5. Kurikulum pembelajaran yang menstimuli untuk berpikir kritis, visioner, memecahkan masalah;
  6. Sumber daya manusia yang profesional, cerdas, bermoral dan modern;
  7. Program program unggulan bagi kemanusiaan, keteraturan sosial maupun peradaban;
  8. Pikiran, Perkataan, Perbuatan dan Bela Rasanya bagi Kebaikan, Kebenaran, Perbaikan, Pembangunan untuk meningkatkan kualitas hidup banyak orang;
  9. Menjaga, Merawat Nilai Nilai Luhur Bangsa dan Kebhinekaanya;
  10. Mampu menjadikan Ikon atau Simbol Kemanusiaan, Keteraturan Sosial dan Peradaban.

Literasi yang memadai akan mencerahkan dan mendorong perilaku organisasinya profesional, cerdas, bermoral dan modern. Demikian juga sebaliknya. Literasi refleksi dari kepemimpinan, administrasi, operasional dan capacitynya. Pemimpin dengan kepemimpinannya yang peduli pada literasi passionnya pada pencapaian tujuan dengan mengimplementasikan keutamaannya. Kebijakannya akan bijaksana bagi keutamaannya.

Membangun literasi pada suatu institusi dapat dimulai dari keteladanan pemimpinnya, pikiran, perkataan, dan perbuatan bagi keutamaannya yang akan diikuti anak buahnya dan menjadi core value.

Core value menjadi spirit membangun yang aktual sesuai dengan yang ideal. Core value diterapkan melalui model kesadaran, tanggung jawab, dan disiplin yang bisa dibuat pada etika kerja yang secara rinci dijabarkan pada Standart operation procedure (SOP).

SOP merupakan jabaran dari :

  1. Job description dan Job analysis;
  2. Standardisasi keberhasilan pelaksanaan tugas;
  3. Sistem penilaian kinerja;
  4. Sistem reward and punishment;
  5. Etika kerja yang berisi apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan dan sanksi bila melanggar.

SOP menjadi landasan membangun core value sehingga literasi dapat terbangun. Sebaliknya tatkala SOP diabaikan maka core value antara yang aktual berbeda bahkan bertentangan dengan yang ideal.

Membangun literasi sejatinya membangun sumberdaya manusia sebagai aset institusi agar dengan kesadaran, tanggung jawab, dan disiplin bekerja dengan profesional, cerdas, bermoral, dan modern. Membangun literasi merupakan passion untuk merubah mind set yang sejatinya juga sebagai landasan reformasi secara kultural. Hal tersebut dapat dimulai dari :

  1. Hukum dan aturan aturannya hingga SOP nya;
  2. Infrastruktur dan sistem sistemnya yang dapat meminimalisir kesempatan terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan;
  3. SDM yang akan mengawakinya

Literasi refleksi perilaku organisasi terlihat dari :

  1. Pemimpin dan Kepemimpinannya;
  2. Kebijakan kebijakannya;
  3. Core valuenya sebagai basis budaya organisasi;
  4. Aturan, SOP hingga Etika kerjanya;
  5. Tingkat kualitas Kinerjanya;
  6. Tingkat kualitas pelayanan publiknya;
  7. Tingkat transparansinya;
  8. Tingkat akuntabilitasnya;
  9. Tingkat dukungan dari mitranya (Soft power dan Smart power nya);
  10. Tingkat kualitas kepercayaan publik.

Reformasi birokrasi secara kultural yang berbasis literasi adalah segala usaha atau upaya menjadikan birokrasi berfungsi secara professional mampu memberikan pelayanan yang prima dan menjadi ikon pelayanan, perlindungan pengayoman masyarakat, juga sebagai penegak hukum, dan keadilan yang tegas berwibawa serta humanis. Selain itu juga diawaki oleh SDM yang berkarakter yang memiliki integritas komitmen kompetensi dan keunggulan. Yang benar-benar mencintai dan bangga akan institusinya. Implementasi penyelenggaraan tugas kepolisian dalam ranah birokrasi maupun masyarakat ditunjukkan dengan kualitas prima dalam memberikan pelayan kepada publik.

Pendekatan birokrasi yang profesional ada pada hubungan-hubungan yang sifatnya impersonal atau berbasis kompetensi. Birokrasi yang demikian disebut juga dengan birokrasi yang rasional. Artinya, konsep-konsep dan kebijakan-kebijakan bersifat tertulis berbasis pada Grand strategi, road map, hingga SOP nya. Semua kebijakan diputuskan secara tertulis bagi pencapaian keutamaan dan bukan lisan atau kepentingan pribadi atau kelompok.

Hakikat reformasi secara kultural yang berbasis pada literasi dapat dipahami sebagai wujud perubahan mendasar atas nilai-nilai budaya, pedoman-pedoman, keyakinan-keyakinan, dan teori-teori yang digunakan secara selektif prioritas dalam mengimplementasikan pelayanan kepada publik sehingga mampu menjadi ikon peradaban melalui pelayanan publik yang prima.

Hal yang menghambat reformasi birokrasi secara kultural salah satunya adalah "diskresi birokrasi" yang cenderung menjadi korupsi. Diskresi birokrasi ini ditunjukkan adanya kepemimpinan yang otoriter dalam birokrasi patrimonial. Yaitu kebijakan lisan pimpinan atau kebijakan yang tidak tersurat namun tersirat dan mau tidak mau wajib atau harus dijadikan dijadikan pedoman bagi anak buah atau bawahanya dalam menyelenggarakan tugas. Diskresi birokrasi ini memiliki kencenderungan korup, karena acuanya adalah keputusan yang subyektif dengan pendekatan personal dan bersifat lisan. Sehingga secara administratif, secara hukum, secara fungsional bahkan secara moral tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Perubahan mind set tidak mungkin dilakukan dengan instan, tidak mungkin juga dengan cara-cara fisik atau kegiatan seremonial ataupun supervisial sesaat. Tidak mungkin juga dilakukan dengan suatu perintah, "siap grak! berubah grak!...". Perubahan mind set adalah kemauan, keberanian, dan kepedulian bahkan kerelaan berkorban dari segenap unsur  pimpinan di semua lini karena pemimpin merupakan panutan dan teladan sebagai agen perubahan yang mempunyai kekuasaan dan legitimasi  untuk melakukan perubahan.

Keteladanan, integritas, komitmen moral, dari pimpinan menjadi dasar pijakan perubahan mind set bahkan culture set. Political will pimpinan menjadikan tiang pancang untuk tautan, karena tanpanya sistem akan hancur berantakan. Aspek lain yang perlu dilakukan adalah edukasi bertahap, berjenjang, dan berkesinambungan bahkan sepanjang hayat untuk menjadikan birokrasi menjadi pembelajar. Pada tahap ini semua level pimpinan wajib mengedukasi bawahannya sehingga mampu menjadi mentor yang mampu menjembatani memotivasi memberdayakan bahkan membantu memberikan berbagai solusi.

Perubahan nilai-nilai budaya yang diikuti dengan pembangunan infrastruktur dan penegakkan hukum dan disiplin harus dilakukan. Tentu ini tidak dilakukan dengan cara-cara otoriter tetapi bagaimana kesadaran dapat dibangun dan bagaimana kepekaan dan tanggung jawab diwujudkan. Yang tidak kalah penting adalah membangun karakter institusi yang ditinjukan dari profesionalisme, keunggulan-keunggulan, maupun sikap moralitas. Kesadaran merupakan tingkatan moral tertinggi yang dapat mendorong pada kepekaan kepedulian bahkan empati serta belarasa yang menjadikan humanis dalam mengangkat harkat dan martabat manusia

Dukungan dari berbagai pemangku kepentingan dan legitimasi dari berbagai pihak  merupakan soft power yang dapat dijadikan landasan dan langkah awalnya atau modal dasar reformasi birokrasi. 

Reformasi birokrasi, pemahamannya dapat dimaknai sebagai upaya menuju birokrasi yang rasional, modern, yang berdasarkan kompetensi, profesional, cerdas, modern, inovatif kreatif , transparan, akuntabel, dan proaktif serta problem solving.

Reformasi birokrasi kepolisian dapat dipahami sebagai upaya kepolisian  menjadi  polisi sipil yang profesional, cerdas, kreatif, inovatif, transparan, akuntabel, modern, proaktif, problem solving, kemitraan yang mengutamakan pencegahan serta seantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Di dalam masyarakat yang modern dan demokratis sebagai ikon peradaban, kemanusiaan.  Reformasi secara struktural, instrumental  dan kultural.

Dalam mereformasi kepolisian ada 3 pola dasar yang meliputi upaya untuk :

  1. Belajar dan memperbaiki kesalahan masa lalu

Yang harus berani ditunjukan apa kesalahan-kesalahan masa lalu dan tentu saja bukan karena subyektifitas serta sifat defense yang berlebihan. Tentu saja bukan untuk menyalahkam atau mencari kesalahan tetapi untuk memperbaiki kesalahan baik di bidang pembinaan maupun bidang operasional. Termasuk konsep-konsep dan peraturan-peraturan maupun pedoman-pedoman yang telah ada. Selain kesalahan tentu ada potensi-potensi yang bisa mendukung yang bisa diberdayakan atau direvitalisasi.

 

  1. Siap menghadapi tuntutan dan kebutuhan masa kini.

Reformasi birokrasi kepolisian mewujudkan harapan dan kebutuhan serta tuntutan masyarakat di masa kini. Yang harus cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah. Untuk mencapainya tanpa dukungan ilmu pengetahuan dan  teknologi maka akan tidak mungkin terwujud.

  1. Menyiapkan masa depan yang lebih baik.

Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk mempersiapkan masa depan yang lebih baik, baik dalam bidang pembinaan maupun operasional. Sebagai contoh dalam pembinaan SDM baik dari rekrutmen sampai pengakhiran dinas berdasarkan standar kompetensi atau produktifitas, yang transparan, akuntabel. 

Sejalan dengan pemikiran di atas maka dalam reformasi birokrasi kepolisian hal hal yang perlu dipersiapkan antara lain:

  1. Political will yang visioner dan mendukung proses reformasi birokrasi;
  2. Adanya kepemimpinan yang trannsformatif;
  3. Pembangunan infrastruktur yang berbasis IT;
  4. Menyiapkan tim transformasi sebagai tim back up dan tim monitoring serta evaluasi;
  5. Menyiapkan SDM yang berkarakter sebagai:" penjaga kehidupan pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan";
  6. Memiliki program unggulan mencapai standar dan kualitas tinggi ( world class);
  7. Menyiapkan pilot project sebagai model percontohan;
  8. Monitoring dan evaluasi  dan melakukan evaluasi;
  9. Mengembangkan apa yang sudah dicanangkan pada wilayah lainnya.

Implementasi reformasi birokrasi kepolisian secara kulturan setidaknya dapat dijabarkan dalam 8 program yang menckup :

  1. Birokrasi mampu menjadi institusii yang tepat fungsi, dan tepat ukuran (right size);
  2. Tatalaksana (sistem, proses dan prosedur yang jelas, efektif, efisien, terukur, sesuai dengan prinsip-prinsip good governance);
  3. Peraturan/ UU (regulasi yang tertib, tidak tumpang tindih);
  4. SDM (sdm beritegritas, netral, kompeten, kapabel, berkinerja tinggi, dan sejahtera);
  5. Pengawasan (meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas kkn);
  6. Akuntabilitas (meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi);
  7. Pelayanan publik (pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat);
  8. Budaya kerja (birokrasi dengaan integritas dan kinerja tinggi).

8 hal tersebut merupakan yang diprioritaskan pada :

  1. Sdm (kompetensi);
  2. Instrument dan metode;
  3. Kelembagaan (struktur dan kultur).

Implementasinya dijabarkan oleh masing-masing satker dan sub satker dari tingkat Mabes, Polda, dan Polres sebagai KOD, Polsek, Pospon, sampai dengan Bhabinkamtibmas.

Mereformasi birokrasi kepolisian secara kultural prinsip dapat sama namun implementasinya   disesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaannya, tupoksi (tugas pokok dan fungsi) masing-masing yang dapat dikembangkan dalam membangun Polri sebagai polisi sipil dalam masyarakat yang modern dan demokratis (membangun supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan HAM, transparan dan akuntabel, berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat). Yang ditunjukan dari kinerja Polri yang : profesional, cerdas, transparan, dan akuntabel, cepat, tepat, akurat, informatif, mudah di akses, proaktif, problem solving yang mengutamakan pada tindakan pencegahan.

Dengan demikian reformasi birokrasi kepolisian secara kultural yang berbasis literasi dalam membangun sistem pemolisian yang  :

  1. Berbasis pada supremasi hukum;
  2. Pemolisiannya dapat dipertanggungjawabkan secara administrasi,  hukum,  fungsional dan kemanfaatanya bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat serta secara moral. Karena tugas-tugasnya adalah untuk memanusiakan manusia dalam arti mengangkat harkat, martabat manusia, yang dibangun di atas dasar kesadaran, tanggung jawab, dan disiplin. Walaupun sebagai polisi yang modern dan handal dalam mengimplementasikan electronic policing polisi atau dikenal sebagai e-policing maupun forensic policing namun hati nurani tetap menunjukan polisi yang humanis tetap diutamakan.

Penjabaran konsep-konsep di atas sebagai reformasi secara kultural yang  dilakukan pada tataran kepemimpinan, administrasi, operasional, dan peningkatan kapasitas; mulai dari tingkat Mabes, Polda, Polres, Polsek dan Sub-sektor, Pos Pol, bahkan sampai Babinkamtibmas.

Model pemolisian yang sekarang ini banyak diadopsi dalam kepolisian-kepolisian yang modern dan demokratis adalah community policing. Dalam penyelenggaraaan tugas Polri dikenal sebagai Polisi Masyarakat (Polmas). Pemolisian tersebut dikembangkan dalam "Smart Policing" yang menjadi model harmoni antara "conventional, e-policing maupun forensic policing". Hal tersebut dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian baik pada tingkat manajemen dan operasional, dengan atau tanpa upaya paksa, dalam mewujudkan dan memelihara keteraturan sosial (kamtibmas). Pada era digital reformasi birokrasi ini, kepolisian sudah membangun sistem-sistem dan infrastruktur modern pemolisian secara online (e-policing) di era kenormalan baru polisi mengambangkan forensic policing untuk mengatasi berbagai hal kontra produktif yang by design dengan nuklir, biologi, kimia, fisika maupun sosial.

Reformasi birokrasi kepolisian secara kultural membangun ikon atau simbol-simbol bagi para petugasnya: simbol keahlian (profesionalisme), kemanusiaan, aparat yang berkarakter, dan simbol perubahan. Melaksanakan simbol-simbol itu merupakan wujud dari keunggulan dan keunikan Polri yang membawa manfaat signifikan bagi keamanan dan keselamatan masyarakat.

Perwujudan ikon atau simbol itu akan menjadi kebanggaan yang sekaligus memecahkan beberapa masalah yang internal maupun eksternal. Jika para petugasnya mampu menjadi ikon, maka masalah yang dihadapi secara internal dapat diminimalisir atau bahkan nyaris tidak ada lagi.

E Policing maupun forensic policing mendukung program E Goverment atau Sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) melalui model smart city. Smart city saat ini memang sedang menjadi trend di Indonesia sebagai upaya dan strategi dalam memajukan kota di suatu negara dengan basis teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Smart city dapat diartikan sebagai sebuah kota cerdas dengan konsep yang dirancang sedemikian rupa untuk kepentingan masyarakat, terutama dalam pengelolaan sumber daya agar lebih efisien dan efektif.

Sedangkan aspek utama pembangun smart city menurut Frost dan Sullivan pada tahun 2014 yaitu :

  1. Smart governance;
  2. Smart technology;
  3. Smart infrastructure;
  4. Smart healthcare;
  5. Smart mobility;
  6. Smart building;
  7. Smart energi, dan
  8. Smart citizen.

Tujuan dari smart city itu sendiri adalah untuk membentuk suatu kota yang nyaman, aman, serta meningkatnya kualitas hidup masyarakat dan memperkuat daya saing dalam berbagai bidang kehidupan sosial kemasyarakatan.

E-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B) serta Government-to-Government (G2G). Keuntungan yang paling diharapkan dari e-government adalah peningkatan efisiensi, kenyamanan, serta aksesibilitas yang lebih baik dari pelayanan publik.

Perbankan Elekronik / E-banking yang juga dikenal dengan istilah internet banking ini adalah kegiatan yang melakukan transaksi, pembayaran, dan transaksi lainnya melalui internet dengan website milik bank yang dilengkapi sistem keamanan.

 Adapun persyaratan pelayanan prima antara lain

  1. Aplikasi mudah digunakan;
  2. Layanan dapat dijangkau dari mana saja;
  3. Murah;
  4. Dapat dipercaya, dan
  5. Dapat diandalkan (reliable).

E-Policing adalah pemolisian secara elektronik yang dapat diartikan sebagai pemolisian secara online, sehingga hubungan antara polisi dengan masyarakat bisa terjalin dalam 24 jam sehari dan 7 jam seminggu tanpa batas ruang dan waktu untuk selalu dapat saling berbagi informasi dan melakukan komunikasi.

Bisa juga dipahami e-policing sebagai model pemolisian yang membawa community policing pada sistem online. Dengan demikian E-Policing ini merupakan model pemolisian di era digital yang berupaya menerobos sekat-sekat ruang dan waktu sehingga pelayanan-pelayanan kepolisian dapat terselenggara dengan cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel informatf dan mudah diakses.

Sistem ini bisa menjadi strategi inisiatif anti korupsi, reformasi birokrasi dan creative break through. Dikatakan sebagai inisiatif antikorupsi karena dengan sistem-sistem online dapat meminimalisir bertemunya person to person. Dalam pelayanan-pelayanan kepolisian di bidang administrasi contohnya sudah dapat digantikan secara online melalui e-banking, atau melalui ERI (Electronic Registration and Identification).

E-Policing bukan dimaksudkan untuk menghapus cara-cara manual yang masih efektif dan efisien dalam menjalin kedekatan dan persahabatan antara polisi dengan masyarakat yang dilayaninya. Sebaliknya, sistem ini  justru untuk menyempurnakan, meningkatkan kualitas kinerja sehingga polisi benar-benar menjadi sosok yang profesional, cerdas, bermoral dan modern sebagai penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan.

E-Policing dapat dipahami sebagai penyelenggaraan tugas kepolisian yang berbasis elektronik yang berarti membangun sistem-sistem yang terpadu, terintegrasi, sistematis dan saling mendukung, ada harmonisasi antar fungsi/ bagian dalam mewujudkan dan memelihara keamanan dan rasa aman dalam masyarakat.

Pemolisian tersebut dapat dikatakan memenuhi standar pelayanan prima yang berarti: Cepat, Tepat, Akurat, Transparan, Akuntabel, Informatif dan mudah diakses. Pelayanan prima dapat diwujudkan melalui dukungan SDM yang berkarakter, pemimpin-pemimpin yang transformatif, sistem-sistem yang berbasis IT, dan melalui program-program yang unggul dalam memberikan pelayanan, perlindungan, pengayoman bahkan sampai dengan penegakkan hukumnya.

Pembahasan E-Policing dapat dikategorikan dalam konteks :

  1. Kepemimpinan;
  2. Administrasi;
  3. Operasional;
  4. Capacity Building (pembangunan kapasitas bagi institusi).

Smart city bukanlah sebagai tujuan utama melainkan meningkatnya kualitas hidup masyarakatlah tujuanya. Kota yang humanis aman nyaman asri termasuk lalu lintasnya yang aman, selamat, tertib dan lancar. Sejalan dengan hal tersebut program IT for road safety merupakan langkah mendasar untuk memetakan, membuat model, penanganan secara holistik atau sistemik, pendekatan berbasis pada scientific dan teknologi, terbangunya big data dalam back office.  Yang diinput melalui berbagai aplikasi dan juga akan dikaji melalui riset secara ilmiah. Hal-hal yang dilakukan inputing data adalah membuat kategori mengidentifikasi akar masalah penyebab dari setiap permasalahan

Mengimplementasikan E-policing berbasis smart management yaitu membangun kinerja profesional yang berbasis SOP yang mencakup:

  1. Job Description dan Job Analysis masing-masing bagian;
  2. Standardisasi keberhasilan tugas;
  3. Sistem penilaian kinerja;
  4. Sistem reward and punishment;
  5. Etika kerja ( apa yang harus di lakukan dan apa yang tidak boleh dikerjakan/ do dan don’t).

Point a sampai dengan e inilah yang tercakup pada smart management.

Implementasi e policing akan diawaki petugas-petugas cyber cops yang siap 1x24 jam dan 7 hari seminggu tanpa putus memberikan pelayanan virtual dan aktual. Petugas-petugas cyber cops akan bertugas pada back office untuk inputing data, mengalisa dan menghasilkan produk-produk untuk prediksi, antisipasi dan solusi yang dinamis bahkan sell on time dan real time.

Menjadi Polisi yang profesional, cerdas, bermoral dan modern merupakan proses panjang yang setidaknya dimulai dari pemikiran-pemikiran visioner yang luar biasa atau berbeda dengan pemikiran-pemikiran pada umumnya dalam birokrasi yang rasional (berdasar pada kompetensi), kepemimpinan yang visioner, transformasional dan problem solving dalam membangun model pemolisian di era digital dengan berbasis pada sistem online (Electronic Policing). Selain itu juga diawaki SDM yang profesional yang memiliki attitude yang baik dan sebagai pekerja keras dan pembelajar serta mind set sebagai polisi ideal (penjaga kehidupan, pembangun peradaban dan pejuang kemanusiaan sekaligus). Hal ini ditunjukkan pada birokrasi yang mempunyai Tata Kelola Lembaga Prima ( National Class Institution) yang memiliki program-program unggulan yang inspiratif, inovatif, kreatif serta dinamis untuk senantiasa mampu belajar dan memperbaiki kesalahan masa lalu, siap menghadapi tuntutan, kebutuhan tantangan, ancaman serta harapan masa kini, mampu menyiapkan masa depan yang lebih baik. Dukungan infrastuktur dengan teknologi yang modern masih dapat memberikan pelayanan yang cepat, tepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Yang perlu menjadi perhatian juga dalam penganggaran yang terus diperbaiki nilai sejak perencanaan, monitor dan evaluasi untuk senantiasa dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian.

Polisi sebagai institusi, fungsi, maupun petugas adalah simbol peradaban pelindung pengayom dan pelayan mayarakat. Yg mampu memberikan pelayanan2 prima dan menjadi ikon penjaga kehidupan

Pembangun peradaban sekaligus pejuang kemanusiaan.

 

-Fya