MODEL PEMOLISIAN YANG MENGEDEPANKAN PENCEGAHAN DALAM MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA OLEH KASESPIM LEMDIKLAT POLRI IRJEN POL PROF. DR. CHRYSHNANDA DWILAKSANA, M.Si.

admin 18 Feb 2024

banner-image

Kejadian di minneapolis akibat kematian George Floyd memicu kemarahan publik dan kerusuhan di Minneapolis, yang merambah ke berbagai bagian di Amerika Serikat. Kejadian di minneapolis bisa saja sebagai trigernya atau ledakan puncak gunung es. bisa saja masalah masalah di bawah gunung es sudah bertumpuk dan tinggal menunggu triger untuk meledak. Apalagi ada kepentingan politik kepentingan bisnis maka para aktor intelektual tinggal memainkannya. Apa yang terjadi di minneapolis mungkinkah terjadi di Indonesia? Mungkin saja, bahkan sangat mungkin melihat masayarakat indonesia yang majemuk yang sarat dengan potensi konflik yang memanfaatkan issue primordial.

 

Di dalam masyarakat majemuk Indonesia primordialisme sangat kental dan banyak dijadikan alat tunggangan agar potensi konflik menjadi konflik. Primordialisme sangat rawan dan mudah digunakan untuk memicu amuk massa.  Issue primordial dikembangkan menjadi labeling yang akan  berkembang menjadi kebencian.  Apabila kebencian terus menerus berkembang dan tidak ditangani dengan baik dan benar maka akan meledak menjadi konflik sosial. Apalagi mendapatkan legitimasi dan solidaritas  yang dilandasi primordialisme, swmakin sulit dipadamkan.

 

Konflik sosial di dalam  masyarakat majemuk Indonesia secara umum  dipicu adanya perebutan sumber daya, perebutan pendistribusian sumber daya atau karena harga diri. Tatkala pada proses perebutan sumber daya  dikuasai dan dijalankan dengan cara yang tidak fair maka premanisme atau mafia bermunculan, dari yang pragmatis di jalanan sampai dengan yang dekat kekuasaan di dalam birokrasi akan semakin deras bergulir. Kekecewaan kekecewaan, mulai menjadi endapan, perlawanan walau pada tataran gerundelan  terus menerus diungkapkan. Tatkala tidak terselesaikan akar masalahnya dengan baik dan benar maka munculah masalah yang mengendap di bawah puncak gunung es dapat meletus. Akar masalah konflik sosial dapat muncul dari isu :

  1. Proses kekuasaan dan penguasaan sumber daya yang tidak fair, sarat KKN;
  2. Primordialisme ( sara ) menjadi label dan kebencian,  ini menjadi bom waktu menunggu meledaknya saja;
  3. Premanisme yang menghambat produktifitas;
  4. Kebijakan publik yang tidak memihak bagi hajat hidup banyak orang;
  5. Pola pola penanganan konflik yang otoriter;
  6. Berkembangnya sesuatu yang ilegal;
  7. Keterlibatan aparat yang menjadi backing, memeras atau terima suap;
  8. Penegakan hukum yang lemah dan tebang pilih;
  9. Penguasaan sumber daya oleh kaum oligarki yang mengabaikan sosial budaya;
  10. Ketidak percayaan publik terhadap para aparaturnya.

 

Polisi dan pemolisiannya tatkala hanyut dan dilabel buruk serta kurang dipercaya, bahkan dianggap menjadi bagian dari mereka maka akan dilabel dan masuk dalam golongan yang mereka benci.  Cepat atau lambat akan menjadi sasaran kebencian, semua itu tinggal menunggu ttigernya saja untuk diledakkan. Polisi di dalam masyarakat majemuk Indonesia dengan pola pemolisian kekinian atau kontemporen dibangun tidak sebatas top down atau perintah dari atas tetapi juga bottom up yang didasarkan pada corak masyarakat dan kebudayaannya. Masyarakat perkotaan akan berbeda dengan masyarakat pedesaan. Masyarakat sekitar hutan berbeda masyarakat di wilayah pantai atau masyarakat petani. Issue kebutuhan akan keamanan dan rasa aman  berbeda satu dengan lainnya bahkan ada variasi yang sangat signifikan tidak dapat diterapkan pada wilayah atau masalah yang berbeda.

 

Kepolisian negara republik indonesia ( Polri ) sebagai kepolisian nasional dalam menjalanlan pemolisiannya secara prinsip yang mendasar dan berlaku umum sama, namun secara pragmatis implementasinya bisa saja berbeda satu sama lainnya yang disesuaikan dengan corak masyarakat dan kebudayaannya. Model pemolisiannya dapat mengadopsi model community policing atau polmas. Community policing atau polmas dipahami bahwa pemolisian pada tingkat komunity ( RT atau RW atau kelurahan ), juga bernasis kelompok kepentingan (community of interest), maupun berbasis dampak masalah. Prinsip2 yang mendasar pada community policing/ polmas antara lain :

  1. Polisi keberadaannya diterima dan mendapatkan dukungan dari warga yang dilayaninya;
  2. Adanya kemitraan dan komunikasi dari hati ke hati dan ada persahabatan erat antara masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya dengan polisi;
  3. Mampu menjembatani bila terjadi konflikdan dipercaya mampu menyelesaikannya;
  4. Mampu memahami kebutuhan keamanan warga yang dilayaninya;
  5. Mampu mendapatkan informasi atas hal hal yang kontra produktif dan berpotensi terjadinya konflik. Informasi secara formal maupun non formal menjadi sumber data maupun informasi;
  6. Mampu bertindak proaktif dan menyelesaikan konflik dan menangani potensi2 konflik;
  7. Pola pemolisiannya lebh mengutamakan pencegahan;
  8. Mampu memberikan jaminan keamanan dan rasa aman di wilayah yang dilayaninya;
  9. Adanya quick respone system di mana ada back up system dari back office dan dengan sistem aplikasi yang berbasis pd AI dan IoT;
  10. Berorientasi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat.

 

Sistem pragmatis di ranah terdepan ada back up system secara virtual melalui model smart city, sistem call and command centre, crisis centre untuk menangani masalah emerjensi maupun kontijensi scr prima ( cepat tepat akurat transparan akuntabel informatif dan mudah diakses). Di samping itu juga ada sistem big data yang mendukung one stop service serta algoritma yang berupa info grafis, info statistik dan info virtual lainnya sebagai indeks kamtibmas yang dapat diakses secara real time dan any time.

 

-Fya